Hantu dari Pulau Komodo
Jelajah Misteri - Sudah satu minggu kami sekeluarga meninggalkan Jakarta dan berlibur di Pulau Komodo. Papa punya lahan pertanian peninggalan kakek, yang dikelola oleh warga setempat bernama Lumbu Paningga. Tanah seluas 100 hektar itu ditanami kopi. Walau jenis pohon ini masih langka di NTT, tapi papa memaksakan perkebunan itu untuk hidup.
Hasilnya lumayan, kopi jenis arabika dan robusta telah dapat dinikmati hasilnya. Di tengah kebun, tepatnya di bukit yang diberi nama Antajaya, dibangun villa dari tembok, dua lantai dengan mengarah ke laut Sumba. Papa sangat suka daerah itu. Mama juga begitu, mereka benar-benar menikmati hari-hari liburan di villa kami.
Mama juga ikut menanam durian bangkok dan rambutan ace yang bibitnya didatangkan dari Sukabumi, Jawa Barat. Setiap hari mama bersama isteri Pak Lumbu Paningga bercocok tanam. Sementara aku benar-benar kesepian. Tidak ada teman dan tidak ada kegiatan yang menarik perhatianku di Pulau Komodo.
Sore itu aku melamun di beranda villa lantai dua. Bayanganku jauh kepada Ranti, Evan dan Dina di Jakarta. Teman-temanku itu sedang beristirahat ramai-ramai di Carita, Banten. Aku benar-benar merindukan mereka, ingin berkumpul, bercanda, berbagi bahagia dengan mereka.
Tapi dari awal Papa marah. Mama juga begitu. Mereka tidak memperbolehkan aku ikut rombongan itu. Papa dan Mama memaksaku ikut ke NTT, bersama mereka. Walau batinku berontak, aku terpaksa juga melakukan perjalanan yang melelahkan itu. Kami naik pesawat ke Lombok. Dari bandar Selaparang kami ke Amepanan, naik kapal Yach milik papa di kota itu lalu berlayar ke Pulau Komodo.
Selama perjalanan aku berdiam diri. Mama berusaha membujukku agar aku lebih enjoy, begitu juga dengan papa. Tapi karena aku jengkel, kesal dan gundah gulana, maka bibirku tak bisa juga tersenyum.
Sesampainya di villa, pikiranku semakin kacau. Aku ditanya papa dan mama, mau apa aku di situ. Mereka menjanjikan mobil baru, bila aku mau tertawa. Tapi aku tidak bergeming, aku melamun dan melamun saja. Bayanganku tetap pada teman-temanku yang bawel, lucu dan juga konyol.
Bayanganku terus terbang di antara mereka. Aku membayangkan betapa indahnya bertamasya di Carita dengan mereka. "Jadi apa sebenarnya yang kau mau?" bentak Papa, setelah bosan merayuku agar aku mau tersenyum dan enjoy bersama mereka.
Tiba-tiba keberanianku muncul untuk melawan Papa dan aku berkata keras. "Papa, keinginanku hanya satu, aku minta pulang ke Jakarta sekarang juga!" kataku. Papa marah besar mendengar jawabanku ini. Begitu juga dengan Mama.
"Kalau itu permintaanmu, Papa tidak akan kabulkan sampai kapanpun. Kau harus tetap di sini sampai tujuh hari ke depan!" bentak Papa, sambil berlalu. Sore itu, hari Selasa Wage, 20 Desember 2001, aku benar-benar terpukul. Aku menangis habis-habisan di kamar tidurku di lantai dua. Kukunci rapat pintu kamarku sambil menumpahkan kekesalanku pada guling dan bantal.
Aku mengadu pada dua benda yang jadi sahabat baikku selama tinggal di Villa Damar. Anehnya, bantal itu seakan bicara padaku. "Dita, janganlah kau bersedih. Hapuslah air matamu, karena airmatamu itu tidak akan menyelesaikan persoalanmu. Tunggulah sampai seminggu, setelah itu kalian akan pulang ke Jakarta dan kau akan berbahagia bersama teman-temanmu di ibukota, ayolah Dita!" bisik bantal itu, membujukku.
Aneh memang. Malah bantal itu menganjurkan agar aku duduk di beranda depan villa di lantai dua itu. Aku menurut saja apa katanya. Aku duduk di beranda sambil memandang alam sekitar yang sebenarnya cukup indah. Laut Sumba kulihat begitu elok dan rupawan. Layar-layar perahu nelayan sudah mulai melaut dengan lampu petromaks kelap kelip terlihat dari kejauhan.
"Mereka bertarung melawan badai demi isteri dan anak-anak mereka di rumah!" kata seorang laki-laki tampan yang tiba-tiba muncul di belakangku. "Hei, kamu siapa? Bagaimana kamu bisa masuk ke villa ini?" tanyaku, ketus.
Laki-laki itu menerangkan, bahwa dia adalah ponakan dari Pak Lumbu Paranggi pengelola ladang kami. "Aku baru datang dari Jakarta untuk mengunjungi pamanku di sini. Aku tinggal di Pondok Indah, Jalan Sekolah Duta 19 Nomor 45 B, tidak jauh dari rumah Anda!" katanya. Aku langsung melemah.
Laki-laki tampan umur 24 tahunan itu ternyata tetanggaku di Jakarta Selatan. "Aku baru saja datang dan paman menyuruhku menemuimu di sini!" desisnya.
Singkat cerita, kamipun akrab. Banyak hal yang kami obrolkan dan pembicaraan sangat nyambung dan lancar. Habis ngobrol, tak terasa pukul 23.00 WIT.
Papa dan Mama sudah tertidur. Entah kenapa, seperti dapat siraman kata magis, aku melakukan adegan mesra dengan laki-laki asing itu. Kami bergumul hot walau tidak sampai melakukan hubungan intim. Laki-laki itupun tidak menuntut untuk minta keperawananku malam itu. Pukul 23.30 WIT dia minta pamit.
Akupun melepas kepergiannya meninggalkan villa di dalam gelap. Besoknya dengan semangat tinggi aku menemui Pak Lumbu untuk minta bertemu kembali dengan laki-laki yang mengaku bernama Indra itu. Pak Lumbu kaget dan menyerangku dengan ragam pertanyaan mendetil.
Kuceritakan ciri-ciri serta bentuk khas Indra seperti yang dipertanyakan Pak Lumbu. Lalu, dengan air mata menggenang di pipinya, Pak Lumbu bertutur, bahwa Indra itu memang keponakan yang paling disayanginya. Karena Pak Lumbu tidak punya anak, maka Indra dijadikannya anak angkat dan tinggal di rumah adik bungsunya di Pondok Indah.
Tapi, kata Pak Lumbu, Indra sudah meninggal lima tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan laut tenggelam di Laut Sumba, terjatuh dari kapal nelayan milik Pak Lumbu. Mayatnya sudah terkubur di belakang villa, di kebun milik Pak Lumbu.
Malam itu, Pak Lumbu menyesalkan kenapa tidak sempat jumpa dengan anak angkat kesayangannya itu. Tapi justru Nona yang bertemu, kenapa bukan saya? Sesal pak Lumbu. Penyesalan Pak Lumbu itu, menjadi guncangan batin dan gelegak jantungku. Oh Tuhan, tadi malam aku ternyata bercumbu dengan arwah yang sudah lima tahun lalu terkubur.
0 Response to "Hantu dari Pulau Komodo"
Posting Komentar
Disini Anda bebas bertanya maupun mengutarakan ide, gagasan, opini secara bebas yang tentu tidak termasuk dalam koridor Sara. Dilarang keras titip Link / URL hidup maupun berupa tulisan atau mempromosikan produknya. Ingat !! kebiasaan seperti itu akan membuat Anda semakin bodoh dan terpuruk.